Sumenep – Gus Islah Bahrawi mengatakan, dalam perjalanan sejarah, perpecahan antar sesama umat Islam terjadi justru karena ada kepentingan politik dengan mengatasnamakan agama. Hal tersebut dapat memicu degradasi esensi nilai-nilai agama
“Islam terpecah karena kepentingan politik. Sehingga yang terjadi adalah gerakan kekerasan yang mendegradasi esensi agama,” ujarnya saat mengisi Halaqah Islam Wasathiyah, yang digelar oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Sumenep di Hotel Asmi, Senin (27/06/2022).
Ia menyatakan, selama ini Islam seringkali dianggap sebagai agama intoleran, ekstrimis, dan sejenisnya. Hal demikian terjadi karena beberapa kelompok mengatasnamakan agama Islam untuk kepentingan kekuasaan atau pragmatisme politik.
“Maka, saya menginginkan untuk menyelamatkan Islam dari anggapan negatif, intoleran, ekstrimis, dan sejenisnya,” tambahnya.
Menurut Islah Bahrawi, perpecahan dan kekerasan terjadi dalam sejarah perkembangan Islam selain disebabkan adanya kepentingan politik yang mengatasnamakan agama, juga pada hakikatnya manusia memiliki keinginan untuk menguasai manusia lain dengan kelompoknya sendiri.
Dalam konteks keberagamaan Islam di Indonesia, lanjut Gus Islah, para ulama dan habaib terpolarisasi karena disusupi oleh kepentingan politik. Hal demikian tentu untuk mendapatkan legitimasi dari ketokohan ulama dan habaib agar kepentingannya dapat terwujud.
“Jadi, ini kepentingan supremasi politik. Tindakan brutal atas nama agama terjadi agar kejahatan yang dilakukan itu terlihat seolah terhormat, karena mengatasnamakan agama,” tegasnya.
Alumni Pesantren Syaichona Cholil Bangkalan itu mengajak untuk melepaskan Islam dari berbagai kepentingan pragmatis, utamanya dalam hal politik praktis. “Karena jika agama dibawa untuk kepentingan politik, maka perpecahan akan terjadi dimana-mana,” ungkapnya.
Dirinya pun menyebutkan, bahwa aspek ilmu pengetahuan diyakini mampu akan memajukan agama Islam. Oleh karena itu ia mengajak untuk memajukan Islam dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan politik.
“Bila ada perbedaan pendapat, lakukan diskusi yang mengedepankan ilmu pengetahuan, bukan emosi dan ambisi kekuasaan,” pungkasnya.